Minggu, 20 Juni 2010

Referensi desain 2

Sebuah contoh yang dapat diperdebatkan, mengenai latihan aspek intangible dalam konteks metafora, dicoba dilakukan oleh mahasiswa arsitektur ITS dalam menyelesaikan tugas studio terakhirnya. Sebuah contoh bagi seseorang yang ingin mengawali mendesain dengan aspek ‘intagible’. Judul tugas berupa ‘museum bahari’, membawa mahasiswa tersebut untuk memilih tema mengenai laut dan lumba-lumba. Proses awal yang dilakukan adalah pembuatan sketsa2 yang diinspirasikan dari berbagai gambar lumba-lumba. Namun proses ini ternyata belum dapat memuaskan hasil eksplorasi metafora yang diinginkan.
gmb-f01
Gambar 1. sketsa awal eksplorasi bentuk lumba-lumba
Langkah pertama dihentikan, memulai strategi dengan langkah kedua yaitu mengumpulkan segala macam ‘teks’ tentang lumba-lumba. Munculah kata-kata : lucu, atraktif, dinamis, lengkung dan mengkilat. Segala macam teks yang mencirikan tentang berusaha dimasukkan kepala hingga melupakan wujud nyata dari lumba-lumbanya sendiri. Dari sinilah eksplorasi bentuk dimulai. Dosen pembimbing membiarkan semua pilihan bentuk, hanya mengarahkan dan bertanya tentang kepuasannya bereksplorasi bentuk, hanya mengarahkan kepada konsistensi langkah yang dipilih.
gmb-f02
Gambar 2. ’Text’ dan sketsa mengenai karakter lumba-lumba
gmb-f03
Gambar 3. Sebagian dari rancangan museum bertema ’lumba-lumba’, peniruan bentuk sirip dipadukan dengan penyajian ’natah’, ruang-ruang luar yang tergunakan menjadi ’place’
gmb-f04
Gambar 4. Bentuk-bentuk lengkung museum bahari melingkupi Monumen Kapal Selam Pasopati Surabaya. Bisakah rancangan ini dianggap sebagai aspek simbolik modernitas ’lingga dan yoni’ ?
Deraan sistem perancangan modul konstruksi yang sudah terlalu sering dijejalkan pada tugas-tugas studio sebelumnya membuat hasil yang dirasa kurang memuaskan. Dinding-dinding yang harus lurus beserta kolom-kolom berpola grid mengacaukan eksplorasi ide lumba-lumba. Hal ini ditambah dengan kebiasaan menganggap bahwa denah adalah generator dari tampak, hingga seluruh dinding selalu dibuat vertikal, diproyeksikan dari denahnya. betapa konsep seperti ini sangat membatasi kreatifitas.
Sesuai tema yang dipilih, bahwa dinding tidak harus lusur ke atas. Dinding juga dapat dibuat melengkung, miring, meliuk, sesuai ekspresi yang ingin disampaikan dalam mengungkapkan ke’lumba-lumba’an. Kolom-kolom juga tidak harus dengan modul grid, tapi bisa dengan modul lengkung pula, atau bahkan tanpa modul, yang jelas nantinya secara logika struktur akan dapat dipertanggung jawabkan. Bentuk kolom pun tidak harus sama dari bawah ke atas, bisa lebih besar/kecil. Demikian pula pertemuan antara kolom dan balok beserta pelat lantai atas dapat dipermainkan sesuai tema yang dipilih. Pertemuan kolom, balok dan pelat lantai juga dapat dihilangkan dengan perpindahan bentuk lengkung yang halus. Semua sistem agak dipinggirkan dari tujuan utama , yaitu ; ekspresi ”ke’lumba-lumba’an”.
Menjaga konsistensi tema adalah hal yang palign sulit dan kadang tidak disadari. Godaan ide baru biasanya selalu membuat kekuatan konsep menjadi kabur, misalnya tahu-tahu muncul ide kerang laut untuk entrance, layar kapal untuk atap, dll. Jika telah dipikirkan bahwa ide baru dalam proses itu justru mengganggu kekuatan konsep, maka sebaiknya dibatasi saja. Akan lebih baik jika membuat alur pencarian ide dan berusaha menepati tanpa banyak berpikir kemana-mana untuk mencari ide tambahan. Jalani saja alur ’lumba-lumba’ dan temukan gubahan bentuknya.
gmb-f05
Gambar 5. Hasil akhir rancangan museum bahari, silahkan mempersepsikan bentuknya didasari lumba-lumba atau tidak. Atau lebih mirip ikan paus ? (biarkan saja… yang penting proses desain sudah dilakukan dengan benar, biar saja dibilang jelek atau bagus, biarkan saja semuanya… respon hanya perlu dibuka untuk berdialog tentang kualitas proses desain saja)
Setiap orang pasti memiliki konteks tertentu dalam menilai hasil karya, setiap arsitek juga memiliki prinsip tertentu dalam memberi kritik terhadap karya arsitektur. Hanya orang dan arsitek yang berada dalam satu konteks saja yang akan menghasilkan diskusi bermutu. Konteksnya Frank Gehry tidak akan bisa dibahas dengan konteks Frank Lloyd Wright…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar