Selasa, 08 Juni 2010

Memahami Metafora (dalam) Arsitektur

“Kupu-kupu malam itu telah pergi untuk selama-lamanya”. Itulah sebuah gaya bahasa yang sering kita dengar atau kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa tersebut adalah metafora, sebuah gaya bahasa yang membandingkan benda yang satu dengan benda lain karena memiliki sifat yang sama atau hampir sama.
————————————————————————————————
Gaya bahasa metafora ternyata dipakai juga dalam dunia arsitektur. Hal ini disebabkan karena arsitektur juga merupakan sebuah bahasa. Sebuah bahasa yang digunakan oleh sesama arsitek untuk menciptakan ‘percakapan’ arsitektural. Ada 2 jenis arsitek yang dibicarakan dalam konteks ini. Pertama, arsitek sebagai pihak yang merencanakan dan merancang sebuah komunikasi (bangunan). Dan kedua, ‘arsitek’ sebagai pihak yang melihat sebuah karya arsitektur dan kemudian merancang sebuah komunikasi apresiasi melalui pemahamannya sendiri (menciptakan arsitektur pemikiran).
Lalu kita akan bertanya, seperti apa metafora dalam arsitektur? Jika perwujudan gaya bahasa metafora dapat kita nikmati melalui komunikasi audio dan visual. Maka, metafora dalam arsitektur dapat kita nikmati melalui sebuah proses pemikiran yang arsitektural. Metafora dalam arsitektur dibangun melalui perwujudan konsep desain. Melalui pengejewantahan desain, konsep tersebut ‘dipindahkan’ ke dalam ruang tiga dimensi. Tekstur, bentuk dan warna dirancang untuk menghasilkan kualitas visual ruang yang unik, meliputi lantai, dinding, atap dan sebagainya. Ruang-ruang unik inilah yang kemudian membawa makna-makna khusus sebagai ekspresi metaforik.
Itulah metafora dalam arsitektur. Sebuah gaya bahasa arsitektur yang membawa, memindahkan dan menerjemahkan kiasan suatu obyek ke dalam bentuk bangunan (ruang tiga dimensi). Anthony C. Antoniades dalam bukunya, “Poetic of Architecture : Theory of Design” , mengidentifikasi metafora arsitektur ke dalam 3 kategori, yakni metafora abstrak (intangible metaphor), metafora konkrit (tangible metaphor) dan metafora kombinasi. Adanya klasifikasi ini mempermudah kita untuk lebih memahami metafora dalam arsitektur.
Metafora abstrak dapat kita lihat pada beberapa karya arsitek Jepang. Salah satu arsitek tersebut adalah Kisho Kurokawa. Kisho Kurokawa mengangkat konsep simbiosis dalam karya-karyanya. Kisho Kurokawa mencoba ‘membawa’ elemen sejarah dan budaya pada engawa (tempat peralihan sebagai “ruang antara” pada bangunan: antara alam dan buatan, antara masa lalu dan masa depan). Konsep ini diterapkan pada salah satu karya Kisho Kurokawa yaitu Nagoya City Art Museum. Sejarah dan budaya adalah sesuatu obyek yang abstrak dan tidak dapat dibendakan (intangible). Oleh karena itu, karya Kisho Kurokawa ini tergolong pada metafora abstrak.
Stasiun TGV yang terletak di Lyon, Perancis, adalah salah satu contoh karya arsitektur yang menggunakan gaya bahasa metafora konkrit karena menggunakan kiasan obyek benda nyata (tangible). Stasiun TGV ini dirancang oleh Santiago Calatrava, seorang arsitek kelahiran Spanyol. Melalui pendekatan tektonika struktur, Santiago Calatrava merancang Stasiun TGV dengan konsep metafora seekor burung. Bentuk Stasiun TGV ini didesain menyerupai seekor burung. Bagian depan bangunan ini runcing seperti bentuk paruh burung. Dan sisi-sisi bangunannya pun dirancang menyerupai bentuk sayap burung.
Stasiun TGV Lyon
(gambar Stasiun TGV diunduh dari http://cnci.org.za)
Untuk metafora kombinasi, dapat kita lihat pada E.X Plaza Indonesia, karya Budiman Hendropurnomo (DCM). Dalam buku “Indonesian Architecture Now”, Imelda Akmal menulis bahwa gubahan massa E.X yang terdiri atas lima buah kotak dengan posisi miring adalah hasil ekspresi dari gaya kinetik mobil-mobil yang sedang bergerak dengan kecepatan tinggi dan merespon gaya sentrifugal dari Bundaran Hotel Indonesia yang padat. Kolom-kolom penyangga diibaratkan dengan ban-ban mobil, sedangkan beberapa lapis dinding melengkung sebagai kiasan garis-garis ban yang menggesek aspal. Dari konsep-konsep tersebut, gaya kinetik merupakan sebuah obyek yang abstrak (intangible).
EX Plaza Indonesia1
Kita tidak dapat melihat gaya kinetik secara visual. Akan tetapi, ban-ban mobil merupakan obyek yang dapat kita lihat secara visual (tangible). Perpaduan antara gaya kinetik (obyek abstrak) dan ban-ban mobil (konkrit) inilah yang menghasilkan metafora kombinasi.
.
Sydney Opera House1Selain dapat dikategorikan berdasarkan kiasan obyeknya, sebuah karya arsitektur bisa memiliki multi-interpretasi bahasa metafora bagi yang melihatnya. Sydney Opera House adalah salah satu contohnya. Sydney Opera House dirancang oleh Jørn Utzon, seorang arsitek kelahiran Denmark. Setiap orang yang melihat karya arsitektur ini, akan menghasilkan berbagai macam interpretasi sesuai dengan pikiran masing-masing. Ada yang berpendapat bahwa konsep metafora Sydney Opera House berasal dari cangkang siput atau kerang. Ada pula yang berpendapat, karya arsitektur ini adalah kiasan layar kapal yang sedang terkembang. Dan ada pula yang berpendapat, bagaikan bunga yang sedang mekar.
.
Itulah keunikan metafora dalam arsitektur. Setiap orang ‘bebas’ mengapresiasi dan menginterpretasikan sebuah karya arsitektur. Tidak ada yang bisa dikatakan ‘salah’. Arsitek pun dituntut untuk bisa memperhatikan bagaimana masyarakat ‘membaca’ karyanya. Metafora dalam arsitektur memberikan sebuah perspektif baru bagi arsitek dan orang awan untuk menikmati karya arsitektur. Melalui perwujudan kualitas visual, kita dapat menikmati metafora dalam arsitektur…

1 komentar: