Dalam berbagai forum arsitektur, seringkali terjadi pembahasan mengenai arsitektur indonesia. Seperti apa itu arsitektur Indonesia? Apakah arsitektur vernakuler (setempat) menggambarkan arsitektur Indonesia? Ataukah arsitektur ekletik indi-tropis bisa mewakili arsitektur Indonesia? atau malah arsitektur tropis modern dapat dibilang representasi terkini dari arsitektur Indonesia?
Pembahasan mengenai arsitektur Indonesia seringkali tidak berujung. Seperti sebuah jalan buntu dan berujung kuldesak, wacana tersebut selalu kembali berputar haluan. Jelas tidak ada yang salah dalam sebuah forum pencarian jati diri. Perbedaan itu terjadi karena masing-masing pihak melihat dari sudut pandang yang berbeda. Pada kesempatan ini, saya pun tidak ingin menegaskan wujud arsitektur Indonesia. Saya hanya ingin berbagi dari kacamata saya mengenai arsitektur Indonesia. Peter J.M Nas, dalam introduction “The Past in The Present – Architecture in Indonesia“, menyiratkan dengan jelas perbedaan konteks “arsitektur di Indonesia” dan “arsitektur Indonesia”. Arsitektur di Indonesia sudah jelas, merupakan akumulasi arsitektur dari berbagai kebudayaan yang pernah singgah di Indonesia, seperti dari India, China dan Belanda. Persinggahan tersebut memberikan persuasi preseden dalam perancangan arsitektur di Indonesia. Sedangkan, konteks “arsitektur Indonesia” sendiri masih dalam proses pencarian makna.
Untuk saya, dalam melakukan pencarian makna arsitektur Indonesia, yang harus dilakukan pertama adalah melihat kembali pada lembaran sejarah mengenai proses pembentukan arsitektur di negeri ini. Saya sangat menyenangi konsep pengklasifikasian sejarah arsitektur di Indonesia yang dilakukan oleh Johannes Widodo. Ada 5 tahap sejarah arsitektur Indonesia yang dibagi oleh beliau, namun saya merangkumnya ke dalam 3 kelas zaman, yaitu:
1. Zaman arsitektur Pra-modern
2. Zaman proto-modern
3. Zaman Modern (terbagi atas tahapan: transplantasi-adaptasi-akomodasi-hibridasi).
Zaman Arsitektur Pra-Modern
Pada periode 10.000 SM s.d 200 M, berbagai suku-suku kecil tersebar di seluruh wilayah nusantara, yang tumbuh dengan adat dan kebudayaan mereka. Berbagai atribut budaya mereka hasilkan untuk dapat bertahan hidup, baik dengan cara bercocok tanam atau berternak. Kapak, lukisan gua, pahatan batu dan juga bangunan vernakuler (setempat) merupakan produk yang dihasilkan pada era ini. Pada zaman ini, arsitektur pertama nusantara berupa bangunan-bangunan vernakuler telah berdiri.
Proses simbolisasi pemaknaan (semiotika) sangat terasa pada artikulasi bangunan-bangunan vernakuler, sehingga menyebabkan keanekaragaman bentuk bangunan vernakuler yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Simbolisasi spiritual (pemujaan) ataupun hukum adat seringkali menjadi hal utama yang melatarbelakangi bentuk /pola organisasi sebuah arsitektur. Di pulau sumatera, kita bertemu dengan arsitektur vernakuler seperti rumah gadang; dan di pulau Sulawesi, kita bertemu dengan tongkonan (rumah adat Toraja). Jelas terlihat adanya perbedaan facade, bentuk dan organisasi ruang pada kedua bangunan tersebut. Proses simbolisasi makna lah yang menjadi aktor utama proses peng-arsitektur-an bangunan tersebut.
Zaman proto-modern
Zaman ini ditandai dengan adanya proses pencampuran budaya China, India, Arab dan Persia melalui konteks urbanisasi dan makro-arsitektur. Berbagai aspek budaya saling beradaptasi menghasilkan bentuk-bentuk ekletisme. Terjadi proses penggabungan aspek budaya Islami, Hindu, Budha dan China.
Salah satu hasil karya arsitektur pada zaman ini adalah Masjid Agung Demak. Desain yang adaptif dari Masjid ini berawal dari prinsip kosmologi Hindu, yakni konsep mandala; yang digabungkan dengan aspek Islami sebagai tempat peribadatan, dimana selama proses pembangunannya banyak terjadi proses tektonika struktur yang berasal dari budaya China.
Inilah awal dari zaman modern untuk arsitektur Indonesia. Zaman dimana mulai terjadi perkenalan antara arsitektur lokal dengan budaya dari luar.
Zaman Modern
Zaman Modern ini diawali dengan kedatangan bangsa Eropa, seperti Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris ke Bumi Nusantara. Pada awal zaman modern ini, terjadilah tahap transplantasi. Dimana bangunan-bangunan Eropa dihadirkan secara mentah-mentah (atau langsung) di bumi pertiwi ini. Terlihat jelas, adanya pemaksaan ideologi arsitektur. Alhasil, arsitektur hasil transplantasi ini dirasakan tidak nyaman dan kurang bersahabat dengan lingkungan.
Menyadari adanya ketidakseimbangan atribut-atribut arsitektur, mulailah terjadi proses adaptasi, dimana bangunan-bangunan hasil rancangan bangsa Eropa ini disesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Adaptasi arsitektur yang paling terlihat terjadi pada teras dan atap (yang didesain volume dengan semakin besarguna untuk mereduksi dampak suhu panas iklim tropis). Proses adaptasi fisik ini berlanjut kepada tahap akomodasi kultural. Gaya hidup, norma sosial dan tradisi budaya lokal dijewantahkan ke dalam ruang-ruang arsitektur. Perkawinan campur antara bangsa Eropa dengan warga pribumi, China dan bangsa lainnya kemudian menghasilkan kebudayaan indis, sebuah perpaduan budaya Belanda dengan budaya Lokal yang berimplikasi pada gaya hidup, fashion, makanan dan arsitektur.
Setelah melewati masa adaptasi dan akomodasi, perlahan arsitektul lokal mencari bentuk-bentuk baru hasil penggabungan budaya-budaya. Eksperimen-eksperimen tiga dimensional muncul sebagai respon terhadap kehidupan sosio-budaya. Masa ini disebut masa hibridasi, dimana banyak sekali terdapat terobosan-terobosan arsitektur yang menjadi preseden kanonik, seperti kemunculan Art-Deco Indonesia, berdirinya perusahaan arsitektur swasta pertama di Indonesia, yaitu technisch bureau biezeveld & moojen, hadirnya THS (Technische Hoogeschool), dan dampak lainnya. Gedung Villa Isola (karya C.P.W Schoemakers), menjadi salah satu karya arsitektur yang lahir pada era ini.
Sejak masa kemerdekaan hingga kini, arsitektur Indonesia memasuki tahap pencarian identitas kontemporer. Pada masa kepemimpinan Soekarno, banyak karya-karya arsitektur yang timbul melalui langgam internasional dengan identitas lokal, seperti yang terjadi pada gedung Konefo (kini gedung DPR/MPR RI), Stadion Ganefo (kini Gelora Bung Karno), dan gedung-gedung lainnya. Pada masa kepemimpinan Soeharto, nilai-nilai lokal dikedepankan melalui tampilan-tampilan fisik seperti atap pelana atau atap prisma. Selain itu, di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, gedung-gedung pencakar langit (skycraper) mulai bermunculan menghiasi wajah Jakarta sebagai kota Metropolitan. Dan di era millenium, beberapa karya arsitektur mulai terkena “efek globalisasi”. Arsitektur-arsitektur di negeri ini berusaha untuk melakukan eksperimen baru dengan menggunakan gubahan bentuk transformasional dengan tetap mengangkat nilai-nilai tropikalitas . Terlihat bagaimana proses pencarian diri arsitektur kontemporer Indonesia seperti tidak akan ada habisnya.
Buat saya sendiri, susah untuk menyatakan mana yang disebut arsitektur Indonesia. Setidaknya karya-karya arsitektur yang pernah berdiri di bumi pertiwi ini adalah bagian dari perjalanan arsitektur Indonesia. Arsitektur vernakuler, arsitektur indis, dan arsitektur modern Indonesia adalah wajah arsitektur kita. Mungkin arsitektur Indonesia bukan merupakan sebuah hasil (bentuk), melainkan sebuah perjalanan kebudayaan yang dimanifestasikan dalam bentuk arsitektur. Akumulasi dari diversitas arsitektur di Indonesia memberikan warna yang cerah untuk kehidupan manusia Indonesia. Semoga arsitektur (di) Indonesia kelak bisa menjadi salah satu kiblat dunia arsitektur.
Jaya selalu arsitektur Indonesia!
terimakasi ilmunya pak
BalasHapus